LAMONGAN – Proyek pengaspalan jalan kabupaten yang menghubungkan Desa Durikedungjero dan Desa Mendungo, Kabupaten Lamongan, kembali menjadi sorotan. Jalan yang seharusnya baru dan fungsional justru menunjukkan tanda-tanda kerusakan berat hanya satu minggu setelah proyek rampung.
Pekerjaan proyek tersebut dilaksanakan oleh kontraktor lokal CV. PAYU JAGAT, yang kini dipertanyakan komitmennya terhadap kualitas dan standar pengerjaan. Muncul dugaan kuat bahwa proyek tersebut dikerjakan asal-asalan, dengan material yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
Aspal Terkelupas dan Jalan Berlubang: Warga Tagih Pertanggungjawaban
Kondisi jalan yang sudah mengelupas dan mulai berlubang di beberapa titik membuat warga kecewa dan merasa dirugikan. Jalan tersebut merupakan akses utama masyarakat antar desa yang digunakan setiap hari untuk kegiatan ekonomi, pendidikan, dan transportasi umum.
“Baru seminggu selesai, sekarang sudah banyak bagian yang rusak. Ini bukan sekadar kecacatan teknis, ini kelalaian serius,” ujar Karto, warga Desa Mendungo, Sabtu (26/09).
Pekerjaan Diduga Tidak Sesuai Spesifikasi: Material Kualitas Rendah Digunakan
Menurut informasi dari Paidi, seorang warga sekaligus pemborong yang pernah mengerjakan proyek serupa, akar masalahnya terletak pada penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi teknis. Ia menyebut bahwa lapisan dasar jalan semestinya menggunakan sertu (pasir batu campur), namun yang digunakan justru pedel blotrok, material yang tidak direkomendasikan untuk jalan kabupaten.
“Pedel blotrok itu murah dan tidak kuat menahan beban. Dipakai karena ingin memangkas biaya. Tapi hasilnya bisa dilihat sekarang, rusak total hanya dalam hitungan hari,” tegas Paidi.
Pemerintah Desa Sudah Mengingatkan, Tapi Tidak Digubris
Kepala Desa Durikedungjero, Supriyanto, mengonfirmasi bahwa pihak desa telah menyampaikan permintaan agar pekerjaan dilakukan sesuai standar. Namun, ia menyayangkan sikap kontraktor yang tetap melanjutkan pekerjaan tanpa mengindahkan peringatan tersebut.
“Kami sudah menyampaikan secara lisan maupun tertulis agar spesifikasi dipenuhi. Tapi tidak ditanggapi. Jalan ini sangat penting bagi warga. Sekarang malah rusak sebelum bisa dimanfaatkan sepenuhnya,” ujar Supriyanto.
Sorotan Hukum: Potensi Pelanggaran Pidana dan Wanprestasi
Pakar hukum konstruksi menyatakan, kondisi ini tidak bisa dianggap kelalaian ringan. Ada potensi pelanggaran hukum serius yang perlu ditindaklanjuti, antara lain:
Penipuan dan Perbuatan Curang (Pasal 378 KUHP): Jika kontraktor terbukti mengganti material demi keuntungan pribadi, hal ini dapat dikategorikan sebagai penipuan terhadap negara.
Wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata): Ketidaksesuaian pelaksanaan dengan kontrak yang disepakati merupakan dasar untuk gugatan ganti rugi oleh pemberi kerja, dalam hal ini pemerintah daerah.
Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata): Masyarakat yang terdampak dapat menggugat secara perdata atas kerugian yang timbul akibat rusaknya infrastruktur.
Kelalaian Pengawasan: Pihak pengawas dari dinas teknis juga dapat dimintai pertanggungjawaban bila terbukti tidak menjalankan fungsi pengawasan secara benar dan independen.
Tuntutan Masyarakat: Audit Proyek dan Perbaikan Total Tanpa Anggaran Tambahan
Atas kejadian ini, masyarakat bersama pemerintah desa menuntut:
1. Audit menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek, mulai dari proses lelang, pengadaan material, hingga pengawasan di lapangan.
2. Perbaikan total jalan oleh pihak kontraktor, tanpa pembiayaan ulang dari APBD.
3. Sanksi administratif dan hukum kepada pihak kontraktor dan pengawas jika terbukti melanggar.
4. Evaluasi ketat terhadap kinerja kontraktor untuk menentukan kelayakan keterlibatan dalam proyek pemerintah ke depan.
Penutup: Dana Publik Harus Dipertanggungjawabkan
Kerusakan jalan Durikedungjero–Mendungo ini bukan hanya kegagalan teknis, tapi juga kegagalan moral dalam menjalankan amanah pembangunan. Dana publik yang diperoleh dari pajak rakyat seharusnya diwujudkan dalam pembangunan yang kokoh, bukan proyek yang cepat rusak dan membebani masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Lamongan kini dihadapkan pada ujian akuntabilitas. Masyarakat menanti langkah konkret, bukan sekadar janji. Bila dibiarkan, kerusakan ini akan menjadi preseden buruk dan menurunkan kepercayaan terhadap program pembangunan daerah.
Setiap kerusakan harus dibayar dengan perbaikan, dan setiap penyimpangan harus dibayar dengan tanggung jawab.