Opini  

Masyarakat Adat Lembah Klaso Tegas Tolak Sawit: Pasang Bambu Tui Sakral Sebagai Simbol Larangan

Masyarakat Adat Lembah Klaso Tegas Tolak Sawit: Pasang Bambu Tui Sakral Sebagai Simbol Larangan

Kabupaten Sorong PBD (24/6/25) — Gelombang penolakan terhadap ekspansi industri kelapa sawit kembali menggema dari jantung Lembah Klaso, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Masyarakat adat dari berbagai distrik bersatu menyatakan sikap tegas menolak masuknya perusahaan sawit, khususnya PT. Fajar Surya Persada Grup, ke wilayah adat mereka.

Aksi penolakan berlangsung sejak Sabtu, 21 Juni 2025, di Distrik Klaso. Warga dari Distrik Klayili, Saengkeduk, Klaso, Makbon, Mega, hingga Salemkai (Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tambrauw) berkumpul dan menandatangani petisi pernyataan sikap bersama. Mereka juga melakukan pemasangan bambu tui, sebuah simbol sakral adat yang menandai larangan keras atas aktivitas apapun di tanah yang dianggap suci dan tak boleh dialihfungsikan.

Simbol Bambu Tui: sebagai makna Sakral dari Larangan Adat
Dalam budaya masyarakat adat Papua Barat Daya, bambu tui bukan sekadar tongkat. Ia merupakan penanda adat sakral yang menyampaikan pesan larangan keras terhadap segala bentuk eksploitasi. Bambu ini ditancapkan langsung ke tanah sebagai simbol bahwa wilayah tersebut dilindungi adat, dan tidak boleh diganggu tanpa konsekuensi sosial dan spiritual.

“Kami Tidak Mau Jadi Korban Sawit”, merupakan ungkapan salah satu tokoh adat dari Distrik Saengkeduk, Dance Siwele, menyuarakan kekhawatiran mendalam akan dampak dari pembukaan perkebunan kelapa sawit. Ia menyebut bahwa kehadiran perusahaan tidak hanya akan merusak hutan, tetapi juga menghancurkan sumber kehidupan masyarakat adat.

“Kalau dia (sawit) sudah masuk, kami masyarakat pasti jadi korban. Wilayah adat kami akan hancur, hutan punah, dan lingkungan rusak,” tegas Dance Siwele, saat di tanya awak media (23/6).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hutan adat bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat perburuan, tempat berkebun, dan sumber air bersih yang menjadi bagian penting dari identitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.

“Kami tidak ingin kehidupan kami hancur. Kami mohon pemerintah dengar ini dengan baik,” tambahnya.

Harapan untuk Pemerintah: Agar menghormati Hak Masyarakat Adat, sehingga melalui petisi yang ditandatangani bersama dan pemasangan simbol adat, masyarakat menyerukan kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk tidak menerbitkan izin usaha kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan merampas ruang hidup masyarakat adat.

Mereka menegaskan bahwa wilayah Lembah Klaso, yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan Gunung Besar, merupakan wilayah yang memiliki nilai ekologis dan kultural tinggi, serta tak bisa diukur semata dengan nilai ekonomi dari perkebunan sawit.

Penolakan terhadap ekspansi industri kelapa sawit di wilayah Papua Barat Daya terus menunjukkan peningkatan. Kesadaran masyarakat adat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai sumber hidup, identitas budaya, dan warisan leluhur kini menjadi landasan utama gerakan ini.

Dengan suara bulat dan simbol adat yang kuat, masyarakat adat Lembah Klaso menegaskan: mereka akan berdiri tegak menjaga tanah leluhur dari segala bentuk eksploitasi yang tidak berlandaskan keadilan ekologis dan sosial.

(L.K)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *