Tuban – Rabu, 3 Juli 2025 Proses Seleksi Penerimaan Siswa Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 di SMA Negeri 1 Soko, Kabupaten Tuban, diduga tidak sepenuhnya berjalan objektif dan transparan. Dugaan konflik kepentingan dan unsur dendam pribadi mencuat ke permukaan setelah putra ketiga Ketua Umum LSM Botan Matenggo Woengoe (BMW), Matenan Arifin, tidak lolos dalam jalur zonasi domisili.
Isa Al Hussein, anak dari Matenan Arifin, ditolak dalam seleksi zonasi meskipun alamat domisilinya hanya berjarak 2,1 kilometer dari sekolah. Sebaliknya, Ahmad Habibur Ridho yang jaraknya terhitung mencapai 8,422 kilometer justru diterima di jalur yang sama. Hal ini memicu kecurigaan terhadap proses penentuan kelolosan yang seharusnya mengedepankan asas jarak terdekat.
“Saya tidak mempermasalahkan jika memang anak saya kalah secara objektif. Tapi ini menyangkut keadilan. Masa yang jaraknya 8 kilometer bisa diterima, sedangkan anak saya yang tinggalnya hanya 2 kilometer tidak lolos. Saya khawatir ini bukan lagi soal sistem, tapi soal pribadi,” ujar Arifin kepada awak media, Rabu (3/7).
Arifin menduga adanya muatan non-teknis yang memengaruhi keputusan Kepala Sekolah SMAN 1 Soko, Sumarmi. Ia mengaitkan hal ini dengan kritik tajam yang pernah disampaikan oleh LSM BMW terhadap kebijakan internal sekolah beberapa tahun lalu.
Upaya klarifikasi pun telah dilakukan. Pada 2 Juli 2025, Arifin melalui Wakil Ketua Komite Sekolah, Sutikno—yang diketahui sebagai anggota aktif TNI di Koramil Soko—berusaha menjadwalkan pertemuan. Namun, pihak sekolah menyatakan bahwa Kepala Sekolah tengah sibuk. Setelah dihubungi kembali, Kepala Sekolah bersedia menemui namun dengan waktu terbatas. Matenan Arifin akhirnya menolak pertemuan tersebut karena harus menghadiri agenda klarifikasi di tempat lain.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Sekolah SMAN 1 Soko, Sumarmi, belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan tersebut.
Kasus ini menambah deretan kontroversi dalam pelaksanaan jalur zonasi yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan objektivitas. Masyarakat pun mulai mempertanyakan komitmen pihak sekolah dalam menerapkan sistem seleksi yang transparan dan bebas dari pengaruh pribadi maupun politik.
Polemik ini menjadi sorotan publik dan diharapkan mendapat perhatian serius dari Dinas Pendidikan Jawa Timur maupun instansi terkait agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan tetap terjaga.