Rembang, 27 Juli 2025 – PumaHitam — Di balik tenangnya wajah Kabupaten Rembang, tersimpan bara yang siap menyala. Aktivis hukum nasional Dhony Irawan HW, SH, MHE, atau yang karib disapa “Bang Mahendra”, akhirnya angkat bicara terkait dugaan korupsi berjamaah yang diselimuti kemunafikan kelembagaan dan kejahatan berjubah pengabdian.
Dalam pernyataan terbukanya, Mahendra menyebut Rembang sebagai “potret kecil kerusakan besar bangsa”, di mana permainan kotor justru dilindungi oleh mereka yang semestinya menjadi pelindung keadilan.
“Kalau hukum sudah dipelintir, kalau kebenaran dikubur demi setoran, jangan salahkan rakyat kalau mereka akhirnya memilih bicara di jalanan,” ujarnya penuh amarah.
KORUPSI DILINDUNGI, KEADILAN DIKHIANATI
Mahendra menegaskan bahwa penyimpangan di Rembang bukan hanya persoalan satu-dua oknum, tapi sudah menjadi pola. Temuan lapangan yang sedang ia dalami mengindikasikan keterlibatan:
Oknum ormas yang dijadikan tameng proyek,
LSM bodrex yang jadi “penjilat bayaran”,
Oknum aparat penegak hukum (baik dari kepolisian maupun kejaksaan) yang diduga bermain sebagai markus (makelar kasus),
Bahkan oknum advokat yang terlibat dalam praktik tutup mulut dan intimidasi terhadap pengungkap kebenaran.
“Bukan cuma diam, mereka aktif merusak sistem. Ini bukan pengkhianatan biasa—ini kejahatan kolektif atas nama jabatan,” kata Mahendra.
PERS DIANCAM, DEMOKRASI DIPANGKAS
Tak berhenti sampai di sana, Mahendra juga menyoroti meningkatnya tekanan terhadap wartawan yang mencoba menggali fakta. Menurutnya, serangan terhadap pers merupakan bentuk nyata kemunduran demokrasi.
“Kalau wartawan pun dianggap musuh, berarti kita sedang hidup dalam sistem yang takut pada cahaya,” tegasnya.
Mahendra menantang semua pihak yang selama ini bersembunyi di balik kekuasaan untuk kembali ke dasar hukum: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak rakyat untuk tahu.
KUHP BARU: REFORMASI ATAU TIKET BEBAS?
Mahendra juga menyoroti bahaya laten dalam revisi regulasi hukum pidana. Pasal-pasal dalam KUHP baru yang menggantikan sebagian isi UU Tipikor dinilainya justru membuka celah impunitas.
Misalnya:
Ancaman minimal hukuman untuk korupsi keuangan negara diturunkan dari 4 tahun menjadi 2 tahun.
Denda minimal yang dulu Rp200 juta kini bisa hanya Rp10 juta.
Beberapa pasal suap pun mengalami pelonggaran.
“Bisa jadi ini langkah mundur yang dikemas manis. Alih-alih memperkuat pemberantasan korupsi, justru memberi ruang negosiasi baru di balik meja,” ujarnya mengkritik.
PESAN TERAKHIR: RAKYAT HARUS TAHU, DAN BERSUARA
Menutup keterangannya, Mahendra menyatakan tak gentar dengan ancaman maupun tekanan. Ia menyebut perjuangannya bukan untuk sensasi, tapi untuk rakyat yang selama ini dibungkam oleh sistem yang dipermainkan.
“Saya tidak takut. Kebenaran tidak bisa dibungkam. Dan saya tidak sendiri—masih banyak rakyat yang marah dan siap bicara,” tegasnya.
PumaHitam Investigasi | Redaksi Khusus Rembang
Tagar: #RembangRusak #MahendraLawan #KorupsiBerjamaah #BukaSemua #KeadilanUntukRakyat #MarkusMampus #LSMBodrex #RUUKorupsi #TransparansiTotal